2.1
Pengertian
Anggaran Tradisional
Sistem anggaran
tradisional (Traditional budgeting system) adalah suatu cara menyusun
anggaran yang tidak didasarkan atas pemikiran dan analisa rangkaian kegiatan
yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Penyusunannya
lebih didasarkan pada kebutuhan untuk belanja atau pengeluaran.
Dalam sistem ini,
perhatian lebih banyak ditekankan pada pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran
secara akuntansi yang meliputi pelaksanaan anggaran, pengawasan anggaran dan
penyusunan pembukuannya. Pengelompokan pos-pos anggaran didasarkan atas
obyek-obyek pengeluaran, sedangkan distribusi anggaran didasarkan atas jatah
tiap-tiap departemen/lembaga. Dasar pemikirannya adalah setiap pengeluaran
negara harus didasarkan pada perhitungan dan penelitian yang ketat agar tidak
terjadi pemborosan dan penyimpangan atas dana yang terbatas.
Anggaran
tradisional merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di negara
berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan ini, yaitu: (a)
cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan incrementalism dan (b)
struktur dan susunan anggaran yang besifat line-item.
2.2
Ciri-ciri
Sistem Anggaran Tradisional
Adapun ciri-ciri dari sistem anggaran
tradisional:
1.
Cara penyusunan anggaran berdasarkan
pendekatan incrementalism, yakni:
a)
Penekanan & tujuan utama pendekatan
tradisional adalah pada pengawasan dan pertanggungjawaban yg terpusat.
b)
Bersifat incrementalism, yaitu hanya
menambah atau mengurangi jumlah rupiah pada item-item anggaran yg sudah ada
sblmnya dg data tahun sblmnya sebagai dasar menyesuaikan besarnya
penambahan/pengurangan tanpa kajian yg mendalam/kebutuhan yg wajar.
c)
Masalah utama anggaran tradisional
adalah tdk memperhatikan konsep value for money (ekonomi, efisiensi dan
efektivitas).
d)
Kinerja dinilai berdasarkan habis
tidaknya anggaran yg diajukan, bukan pada pertimbangan output yang dihasilkan
dari aktivitas yg dilakukan dibandingkan dengan target kinerja yang dikehendaki
(outcome).
e)
Cenderung menerima konsep harga pokok
pelayanan historis(historic cost of service) tanpa memperhatikan
pertanyaan sbb:
o
Apakah pelayanan tertentu yg dibiayai
dengan pengeluaran pemerintah masih dibutuhkan atau masih menjadi prioritas?
o
Apakah pelayanan yg diberikan telah
terdistribusi secara adil & merata di antara kelompok masyarakat?
o
Apakah pelayanan diberikan secara
ekonomis dan efisien?
o
Apakah pelayanan yg diberikan
mempengaruhi pola kebutuhan publik?
f)
Akibat konsep historic cost of
service adalah suatu item, program atau kegiatan muncul lagi dlm anggaran
tahun berikut meski sudah tak dibutuhkan. Perubahan menyangkut
jumlah rupiah yg disesuaikan dg tingkat inflasi, jumlah penduduk, dan
penyesuaian lainnya.
2. Struktur
dan susunan anggaran yg bersifat line-item,yakni:
a)
Struktur anggaran
bersifat line-item didasarkan atas sifat (nature) dari penerimaan dan
pengeluaran.
b)
Tak memungkinkan untuk menghilangkan
item-item penerimaan atau pengeluaran yg sebenarnya sudah tidak relevan lagi
c)
Penilaian kinerja tidak akurat, karena
tolok ukur yg digunakan hanya pada ketaatan dalam menggunakan dana yg
diusulkan.
d)
Dilandasi alasan orientasi sistem
anggaran yg dimaksudkan untuk mengontrol pengeluaran, bukan tujuan yg ingin
dicapai dengan pengeluaran yg dilakukan.
e)
Anggaran tradisional tidak rnampu
mengungkapkan besarnya dana dikeluarkan untuk setiap kegiatan, dan bahkan gagal
memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan. Sehingga tolok ukur
yang dapat digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan
penggunaan anggaran.
f)
Metode line-item budget tidak
memungkinkan untuk menghilangkan item-item penerimaan atau pengeluaran yang
telah ada dalam struktur anggaran, walaupun sebenarnya secara riil item
tertentu sudah tidak relevan lagi untuk digunakan pada periode sekarang. Karena
sifatnya yang demikian, penggunaan anggaran tradisional tidak memungkinkan
untuk dilakukan penilaian kinerja secara akurat, karena satu-satunya tolok ukur
yang dapat digunakan adalah semata-mata pada ketaatan dalam menggunakan dana
yang diusulkan.
g)
Penyusunan anggaran dengan menggunakan
struktur line-item dilandasi alasan adanya orientasi sistem anggaran yang
dimaksudkan untuk mengontrol pengeluaran. Berdasarkan hal tersebut, anggaran
tradisional disusun atas dasar sifat penerimaan dan pengeluaran, seperti
misalnya pendapatan dari pemerintah atasan, pendapatan dari pajak, atau
pengeluaran untuk gaji, pengeluaran untuk belanja barang, dan sebagainya, bukan
berdasar pada tujuan yang ingin dicapai dengan pengeluaran yang dilakukan.
3. Cenderung
sentralistis
4. Bersifat
spesifikasi;
5. Tahunan,
dan
6. Menggunakan
prinsip anggaran bruto
Struktur anggaran tradisional dengan ciri-ciri
tersebut tidak mampu mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan untuk setiap
kegiatan, dan bahkan anggaran tradisional tersebut gagal dalam memberikan
informasi tentang besarnya rencana kegiatan. Oleh karena tidak tersedianya
berbagai informasi tersebut, maka satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan
untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan anggaran.
2.4 Karakteristik Anggaran Tradisional
Adapun karakterisitik Anggaran Tradisional adalah:
a.
Sentralistis
b.
Berorientasi pada input
c.
Tidak terkait dengan perencanaan jangka panjang
d.
Line-item dan incrementalism.
e.
Batasan departemen yang kaku (rigid department)
f.
Menggunakan aturan klasik.
g.
Vote accounting,
h.
Prinsip anggaran bruto
i.
Bersifat tahunan
2.5 Klasifikasi Anggaran
Klasifikasi
anggaran diberbagai negara diklasifikasikan menurut jenis-jenis pengeluaran
biasanya dialokasikan untuk gaji, tujangan, pensiun, perjalanan dinas,
pengangkutan barang, sewa, komunikasi, gas, air, listrik, cetak-mencetak,
reproduksi, bahan-bahan, perlengakapan, tanah, bangunan, peralatan, investasi,
pinjaman, sumbangan, subsidi, asusransi, bunga, dividen dan refund.
Klasifikasi
seperti ini mencerminkan struktur anggaran yang mengarah pada masukan (inputs)
atau apa-apa yang akan dibeli, dan tidak menyajikan informasi tentang apa-apa
yang dilaksanakan pemerintah dan tentang apa yang akan dicapai atas uang yang
akan dibelanjakan.
2.6 Kelemahan dan Kelebihan Anggaran
Tradisional
2.6.1
Kelemahan Anggaran Tradisional
Dilihat dari berbagai
sudut pandang, metode penganggaran tradisional memiliki beberapa kelemahan,
antara lain:
1.
Hubungan yang tidak memadai (terputus)
antara anggaran tahunan dengan rencana pembangunan jangka panjang.
2.
Pendekatan incremental menyebabkan
sejumlah besar pengeluaran tidak pernah diteliti secara menyeluruh
efektivitasnya.
3.
Lebih berorientasi pada input daripada
output. Hal tersebut menyebabkan anggaran tradisional tidak dapat dijadikan
sebagai alat untuk membuat kebijakan dan pilihan sumberdaya, atau memonitor
kinerja. Kinerja dievaluasi dalam bentuk apakah dana telah habis dibelanjakan,
bukan apakah tujuan tercapai.
4.
Sekat-sekat antar departemen yang kaku
membuat tujuan nasional secara keseluruhan sulit dicapai. Keadaan tersebut
berpeluang menimbulkan konflik, overlapping, kesenjangan, dan persaingan antar
departemen.
5.
Proses anggaran terpisah untuk
pengeluaran rutin dan pengeluaran modal/investasi.
6.
Anggaran tradisional bersifat tahunan.
Anggaran tahunan tersebut sebenarnya terlalu pendek, terutama untuk proyek
modal dan hal tersebut dapat mendorong praktik-praktik yang tidak diinginkan
(korupsi dan kolusi).
7.
Sentralisasi penyiapan anggaran,
ditambah dengan informasi yang tidak memadai menyebabkan lemahnya perencanaan
anggaran. Sebagai akibatnya adalah munculnya budget padding atau budgetary
slack.
8.
Persetujuan anggaran yang terlambat,
sehingga gagal memberikan mekanisme pengendalian untuk pengeluaran yang sesuai,
seperti seringnya dilakukan revisi anggaran dan ’manipulasi anggaran.
9.
Aliran informasi (sistem informasi
finansial) yang tidak memadai yang menjadi dasar mekanisme pengendalian rutin,
mengidentifikasi masalah dan tindakan.
2.6.2 Keunggulan Anggaran Tradisional
Di samping berbagai kelemahan tersebut, Halim (2002 : 239)
menyatakan bahwa penerapan anggaran tradisional memiliki beberapa keunggulan.
Keunggulan-keunggulan anggaran tradisional adalah sebagai berikut :
1.
Penyusunannya relatif mudah, sehingga dapat membantu mengatasi rumitnya
proses penyusunan anggaran,
2.
Tidak memerlukan pengetahuan yang terlalu tinggi untuk memahami
program-program kegiatan baru, karena banyak dari kegiatan-kegiatan tersebut
merupakan lanjutan dari kegiatan tahun-tahun sebelumnya, serta
3.
Dengan menggunakan cara penyusunan ini, maka wilayah perselisihan
menjadi sempit sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya konflik antar
unit-unit yang berkepentingan terhadap anggaran.
2.7 Permasalahan Utama Anggaran
Tradisional
Permasalahan Utama
Anggaran Tradisional adalah terkait dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep Value For Money(VFM).
Konsep ekonomi, efisiensi dan efektivitas seringkali tidak dijadikan
pertimbangan dalam penyusunan anggaran tradisional. Oleh sebab itu, dengan
tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money ini, seringkali pada
akhir tahun anggaran terjadi kelebihan anggaran yang pengalokasiannya kemudian
dipaksakan pada aktivitas-aktivitas yang sebenarnya kurang penting untuk
dilaksanakan.
Jika dilihat secara
mendalam sebenarnya konsep Value for Moneybukan sesuatu yang baru,
bahkan Value for Money merupakan salah satu prinsip penting dari
anggaran kinerja dan good governance.
Value for money
merupakan konsep pengelolaan organisasi sektor publik yang mendasarkan pada
tiga elemen utama, yaitu: ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi:
pemerolehan input dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada harga yang
terendah. Ekonomi merupakan perbandingan input dengan input value yang
dinyatakan dalam satuan moneter. Efisiensi: pencapaian output yang maksimum
dengan input tertentu atau penggunaan input yang rendah untuk mencapai output
tertentu. Efisiensi merupakan perbandingan output/input yang dikaitkan dengan
standard kinerja atau target yang telah ditetapkan. Efektivitas: tingkat
pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan. Secara sederhana
efektivitas merupakan perbandingan outcome dengan output.
Ketiga hal tersebut
merupakan elemen pokok value for money, namun beberapa sumber berpendapat bahwa
ke tiga elemen saja belum cukup .Perlu ditambah dua elemen lain yaitu : Equity:
kesempatan sosial yang sama untuk memperoleh pelayanan publik. Equality:
pemerataan/kesetaraan penggunaan dana publik dilakukan secara merata.
Perbedaan mendasar
antara anggaran tradisional dengan anggaran era new public management
akan dijelaskan dalam tabel 2.1.
ANGGARAN
TRADISIONAL
|
NEW
PUBLIC MANAGEMENT
|
Sentralistis
|
Desentralisasi
& devolved management
|
Berorientasi
pada input
|
Berorientasi pada input, output, dan
outcome (value for money)
|
Tidak terkait dengan
perencanaan jangka panjang
|
Utuh dan
komprehensif dengan perencanaan jangka panjang
|
Line-item dan incrementalism
|
Berdasarkan
sasaran dan target kinerja
|
Batasan
departemen yang kaku (rigid department)
|
Lintas departemen (cross
department)
|
Menggunakan
aturan klasik:
Vote
accounting
|
Zero-Base Budgeting, Planning
Programming Budgeting System
|
Prinsip
anggaran bruto
|
Sistematik dan rasional
|
Bersifat
tahunan
|
Bottom-up budgeting
|
Tabel 2.1
Perbedaan Anggaran Tradisional dan Mew Public
Management
kak untuk definisi anggaran tradisionalnya dapat dari mana ya ?
ReplyDeleteterimakasih
Di buku kayaknya
ReplyDelete