Eksploitasi seksual
komersial anak mencakup praktek-praktek kriminal yang merendahkan dan mengancam
integritas fisik dan psikososial anak. Deklarasi dan Agenda Aksi untuk
Menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) merupakan instrumen yang
pertama-tama mendefinisikan eksploitasi seksual komersial anak sebagai :
“Sebuah
pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari
kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang
tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya.
Anak tersebut diperlakukan sebagai sebuah objek seksual dan sebagai objek
komersial. Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan
dan kekerasan terhadap anak, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta
perbudakan modern.”
ESKA
merupakan istilah payung yang mencakup berbagai tingkah laku yang berbahaya dan
salah secara seksual. Yang masuk ke dalam lingkup eksploitasi seksual dan
kekerasan seksual adalah porografi, pelacuran, trafficking untuk tujuan
seksual, kawin paksa atau pernikahan dini, dan tentu saja pariwisata seks anak.
Perlu diketahui bahwa perwujudan kekerasan seksual dan eksploitasi seksual yang
berbeda-beda di atas saling berkaitan satu sama lain. Pariwisata seks anak
(PSA) adalah eksploitasi seksual komersial anak yang dilakukan oleh laki-laki
maupun perempuan yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain,
baik ke negara lain ataupun ke wilayah yang berbeda di dalam negaranya sendiri,
dan di tempat tersebut mereka melakukan hubungan seks dengan anak-anak
Para
wisatawan seks anak bisa berasal dari wisatawan asing, namun bisa juga berasal
dari wisatawan lokal yang sengaja melakukan perjalanan wisata di dalam
negaranya sendiri. Para wisatawan tersebut bisa berasal dari berbagai jenis
latar belakang, mereka bisa saja bujangan, laki-laki atau perempuan, wisatawan
kaya atau wisatawan pas-pasan. Ada dua jenis wisatawan yang melakukan hubungan
seks dengan anak-anak di daerah wisata, yaitu :
- 1 Situasional : awalnya hanya bertujuan untuk wisata, namun dikarenakan kekuatan hukum yang lemah, didukung oleh banyaknya hotel-hotel yang hanya ingin mencari keuntungan sehingga lebih sering tutup mata, dan terutama karena adanya prostitution supplier menawarkan anak-anak, pada akhirnya memberikan kesempatan pada wisatawan seks itu untuk melakukan seks dengan anak-anak.
- 2. Preferensional : sejak awal perjalanan wisata memang ditujukan untuk melakukan hubungan seks dengan anak-anak. Biasanya karena adanya promosi tentang keberadaan anak-anak ini di daerah wisata, sehingga wisatawan seks itu pada akhirnya mengunjungi suatu daerah wisata.
Sebagian besar dari
wisatawan seks anak ini adalah para pelaku situasional yang biasanya tidak
memiliki keinginan khusus untuk berhubungan khusus dengan anak-anak tetapi
hanya sekedar memanfaatkan sebuah situasi di mana ada anak-anak yang tersedia
untuk mereka saat mereka melakukan perjalanan wisata.
Daerah tujuan wisata
seks dapat berubah-ubah sesuai dengan keadaan di negara tujuan tersebut,
misanya karena adanya peningkatan pencegahan dan perlindungan yang dilakukan di
Negara tersebut sehingga memperkecil kemungkinan wisatawan seks untuk
memperoleh akses pariwisata seks anak di negara tersebut. Contohnya Brazil dan
Thailand yang saat ini sedang meningkatkan kewaspadaan dan perhatian mereka ,
sedangkan pariwisata seks anak-anak terus meningkat di negara-negara lain
seperti Ekuador, Vietnam, Kamboja dan Indonesia karena masih sangat terbukanya
jalur-jalur transportasi dan pasar namun kurang kekuatan hukum, perkembangan
pariwisata secara masal yang tidak teratur dan diatur, dan perbedaan-perbedaan
kekayaan yang mencolok dapat menyebabkan tujuan wisata seks anak berpindah dari
suatu negara ke negara lain. Misalnya negara-negara di Eropa dan Amerikat
bagian Utara yang cenderung lebih maju dan kaya akan melakukan perjalanan
wisata seksual ke daerah negara-negara berkembang seperti Amerika Latin dan
Asia Tenggara.
Para wisatawan
kebanyakan berasal dari negara-negara maju di mana kekuatan hukum di negara
mereka sudah sangat kuat dan kepatuhan negara mereka terhadap berbagai
perjanjian tingkat internasional yang cenderung fanatik karena tidak mau citra
negara maju mereka rusak karena pelanggaran berat atupun ringan terhadap
berbagai perjanjian internasional tersebut. Hal inilah yang menyebabkan para
wisatawan tersebut kesulitan menemukan bentuk pariwisata seks anak di negara
mereka yang sudah maju. Oleh karena itu mereka kerap melakukan
perjalanan-perjalanan wisata ke negara-negara berkembang di mana kekuatan hukum
masih lemah dan kemungkinan untuk menemukan pariwisata seks anak di daereah
negara berkembang cukup besar.
Untuk di Indonesia
sendiri terdapat beberapa daerah yang disinyalir adalah tempat pariwisata seks
yang menyediakan anak-anak, dan wisatawan yang berkunjung ke daerah-daerah ini
berasal dari daerah-daerah yang berbeda. Daerah Bali dan Lombok biasanya
dikunjungi wisatawan dari Eropa, Korea Selatan, Australia, dan Jepang. Daerah
kota-kota besar di Pulau Jawa seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lain-lain
biasanya dikunjungi oleh wisatawan dari Amerika dan Timur Tengah. Daerah
kota-kota besar di Sumatera seperti Medan, Batam dan lampung biasanya
dikunjungi wisatawan dari daerah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Berdasarkan laporan
UNICEF pada tahun 1998, di Indonesia ada sekitar 40.000-150.000 anak atau orang
di bawah umur 18 tahun yang melakukan aktifitas seksual komersil baik
prostitusi maupun pornografi yang tersebar di seluruh kawasan seperti pulau
Jawa, Sumatera, Batam, Riau, Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Maluku, dan Papua.
Laporan ini kembali diperkuat oleh ILO pada tahun 2004, dimana ada sekitar 7452
anak-anak di kawasan Pulau Jawa seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur
dan sekitar 14.000 anak-anak di sekitar kawasan Jakarta dan Jawa Barat, yang
melakukan aktifitas seksual komersil. Banyak di antara mereka yang menjadi
korban pornografi.
Anak tidak pernah
memberi izin terhadap semua bentuk kekerasan seksual dan eksploitasi seksual
terhadap mereka. Tidak perduli apakah seorang anak sepertinya “menerima” atau
“secara suka rela” turut serta dalam aktifitas-aktifitas seksual tersebut.
Tidak pernah ada seorang anak pun yang mengizinkan dirinya untuk menjadi korban
kekerasan apalagi korban eksploitasi seksual. Mereka mungkin dibohongi, ditipu
atau dipaksa oleh situasi-situasi yang berada di luar kendali mereka seperti
kemiskinan atau akibat-akibat dari kondisi masyarakat (termasuk tekanan teman
sebaya) yang dapat memaksa anak secara tidak terlihat tetapi bagaimana pun
anak-anak tersebut tetap merupakan korban penderaan. Anak-anak berhak atas
perlindungan dan membutuhkan perlindungan, hal-hal ini adalah tanggung jawab
orang dewasa untuk menjamin agar anak-anak tidak menjadi korban eksploitasi.
Pariwisata bukan
merupakan penyebab eksploitasi seksual anak, tetapi para pelaku eksploitasi
anak-lah yang memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang ditawarkan oleh
perusahaan-perusahaan perjalanan, hotel, penginapan, restoran, penerbangan dan
perusahaan-perusahaan transportasi dan akomodasi lainnya . Beberapa bisnis
mungkin terlibat, misalnya, hotel yang menutup mata terhadap eksploitasi di
dalam fasilitasnya atau para agen perjalanan yang dengan sengaja mengatur
perjalanan seks ke luar negeri. Industry pariwisata memainkan peran penting dan
berharga yang jika organisasi-organisasi pariwisata melakuakn tindakan aktif
terhadap pencegahan hal ini akan mudah untuk mencegah orang-orang yang ingin
memanfaatkan tempat wisata sebagai ruang eksploitasi terhadap anak-anak.
Ada banyak faktor yang
mempengaruhi mengapa pariwisata seks anak lahir dan terus meningkat jumlahnya,
berikut ini faktor tersebut diklasifikasikan menjadi faktor penarik dan faktor
pendorong di mana juga dituliskan beberapa faktor-faktor utama yang mendukung
terjadinya pariwisata sek anak ini .
A. FAKTOR PENARIK
Faktor penarik (pull factor) merupakan faktor utama penyebab maraknya
pariwisata seks anak, berawal dari adanya permintaan dari wisatawan-wisatawan
asing yang diakibatkan banyaknya promosi yang dilakukan para prostitution
supplier. Beberapa promosi yang dilakukan oleh prostitution supplier tersebut
antara lain :
·
Dengan mengatakan bahwa anak-anak lebih
aman dari segala penyakit menular seksual dikarenakan jam terbang ataupun
pengalaman anak-anak tersebut di dunia prostitusi masih minim. Sehingga
kemungkinan anak-anak tersebut terjangkit penyakit menular seksual masih kecil.
Hal ini akan lebih menarik preference wisatawan tersebut untuk memillih
anak-anak daripada orang-orang dewasa dengan alas an keamanan terhadap
kesehatan,
·
Menjadikan child prostitution sebagai
sebuah trend baru di dunia prostitusi. Seperti yang kita tahu apabila sesuatu
hal telah menjadi trend maka tidak menutup kemungkinan akan menjadi suatu
lifestyle yang dianut banyak wisatawan seks tersebut.
Selain daripada promosi
yang diberikan prostitution supplier kepada para wisatawan seks tersebut, ada
faktor penarik lain yang menyebabkan wisatawan memilih anak-anak dibandingkan
orang dewasa, yaitu adanya kepercayaan terhadap mitos bahwa berhubungan seksual
dengan perawan akan memperlancar bisnis dan menjadi obat awet muda untuk
mereka. Dan perawan-perawan ini lebih identik dengan anak-anak dibandingkan
orang dewasa.
Diluar dari dua alasan
di atas, yaitu promosi dan mitos, ada satu faktor yang menarik wisatawan
tersebut, yaitu sekedar menginginkan sesuatu yang berbeda dari yang biasa.
Lebih mudah menemukan prostitusi dewasa dibandingkan prostitusi anak-anak, maka
di saat mereka memiliki kesempatan untuk melakukan hubungan seksual dengan
anak-anak yang mungkin mereka belum pernah seolah-olah menjadi suatu tantangan
tersendiri untuk mereka. Pengalaman baru dan berbeda ini yang mengubah selera
mereka dari adult prostitution menjadi child prostitution dan menimbulkan
permintaan terhadap prostitusi anak-anak menjadi tinggi.
Cara pengatasan faktor
penarik ini diakukan secara mikro maka lebih sulit dalam menghapusnya. Secara
mikro artinya faktor ini cenderung ditangani secara individu per individu,
tidak bisa secara menyeluruh atau sekaligus karena preference wisatawan
tersebut berbeda-beda dan terselubung. Tidak mungkin ada orang-orang yang mau
mengakui dirinya adalah pengguna jasa seks anak-anak dan sekaligus memberi
alasannya. Karena ketidakjelasan alasan dan latar belakang wisatawan seks yang
cenderung berbeda-beda sangat menyulitkan untuk mengatasinya.
B. FAKTOR PENDORONG
Faktor penarik (push
factor) merupakan faktor sekunder penyebab terjadinya pariwisata seks anak
karena faktor ini lahir dikarenakan adanya demand dari para wisatawan. Faktor
ini berasal dari segi anak-anak yang menjadi korban pariwisata seks komersial.
Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor internal dan faktor eksternal :
1. Faktor Internal
Permasalahan ekonomi
yang mengakibatkan anak-anak tersebut tidak terpenuhi kebutuhannya secara
finansial. Yang tidak terpenuhi dapat berupa hal-hal dasar seperti kurangnya
pendidikan yang pada akhirnya mengakibatkan anak-anak tersebut memiliki
kemampuan intelektual yang rendah sehingga mereka dapat dengan mudah terjerumus
ke dunia prostitusi yang cenderung mengiming-imingi terpenuhinya kebutuhan
materi anak-anak tersebut. Yang tidak terpenuhi dapat juga berupa hal-hal
tersier, seperti keinginan untuk mempunyai suatu benda namun tidak mempunyai
uang untuk membeli benda tersebut. Sehingga mereka berpikir untuk mencari uang
dengan cara yang singkat dan mudah yaitu dengan terjun ke dunia prostitusi.
Permasalahan keluarga
(Broken home) yang mengakibatkan anak tersebut kekurangan kasih sayang dari
orangtuanya. Anak-anak dengan latar belakang seperti ini biasanya akan
mengalami pertumbuhan sosial yang kurang baik, yang menjadikan mereka bisa saja
terikut ke dalam pergaulan bebas. Anak-anak yang sudah terikut pergaulan bebas
akan sangat mudah untuk terjerumus ke dalam dunia prostitusi termasuk
pariwisata seks anak di mana wisatawan asing biasanya memberikan tips lebih
kepada mereka. Atupun anak-anak ini menjadikan dunia prostitusi ini sebagai
suatu pelampiasan kekesalan mereka kepada orang tua.
2. Faktor eksternal
·
Prostitution supplier biasanya
memberikan bujukan-bujukan atau “iming-iming” kepada anak-anak agar anak-anak
itu mau terjun ke dunia prostitusi ini. Bujukan-bujukan itu dapat berupa uang
kepada anak-anak yang terbentur masalah ekonomi, dengan mengatakan pekerjaan
ini akan memberikan mereka uang dalam waktu singkat dan kerjaannya juga tidak
sulit. Atau bisa juga dengan modus penipuan, yaitu dengan berkedok penyalur
tenaga kerja yang menjanjikan pekerjaan yang lebih baik apakah pembantu rumah
tangga atau pekerjaan lainnya. Anak-anak yang terlibat penipuan ini sangat
€memungkinkan untuk menerima ekspoitasi dari prostitution supplier ataupun
wisatawan seks pemakai jasa mereka kelak. Bisa dalam bentuk kekerasan fisik dan
juga tidak memberikan bayaraan setelah pemakaian jasa mereka.
·
Dikarenakan prostitusi ini adalah
jaringan (networking), maka biasanya anak-anak yang sudah lebih dahulu
terjerumus ke dunia gelap pariwisata seks ini akan mempengaruhi teman-teman di
sekitarnya untuk terjun ke dunia yang sama dengan mereka. Modusnya bisa berupa
bujukan-bujukan ataupun dengan memamerkan keuntungan-keuntungan dan
kesenangan-kesenangan yang telah ia terima, sehingga membuat temannya juga
tertarik terjun ke dunia yang sama dengan dirinya.
Cara pengentasan
faktor pendorong ini lebih mudah daripada faktor penarik, tapi bukan berarti
tidak sulit. Hanya saja dikatakan lebih mudah karena dapat diatasi secara makro
yaitu dapat dilakukan kepada sebuah masyarakat yang luas. Contohnya dengan
melakukan seminar-seminar dan sosialisasi yang terkait dengan pariwisata seks
anak. Bisa juga dengan memperbaiki sarana pendidikan yang dapat membuat
anak-anak ini berpikir dengan lebih intelektual sehingga dapat memperkecil
kemungkinan terjerumus dalam praktek penipuan para prostitution supplier.
Dengan mempublikasikan masalah ini ke masyarakat luas, masyarakat tersebut akan
lebih berhati-hati dan lebih menjaga dirinya dan keluarganya.
sumber:
wikipedia & catatan tugas wardah^^
No comments:
Post a Comment