Ada banyak alasan emiten melakukan buyback sahamnya. Katanya, untuk mendongkrak EPS. Benarkah? Bagaimana pula dengan nafsu agar lebih bisa mengontrol harga di pasar?
Di pasar modal dikenal banyak istilah. Biasanya tiap term itu mewakili satu aktivitas tertentu dari perusahaan yang telah mencatatkan sahamnya di bursa. Stock split, misalnya. Ini bermakna tindakan emiten yang memecah jumlah saham yang beredar menjadi agar lebih banyak. Caranya, pada saat yang sama emiten menurunkan nilai/harga sahamnya. Misalnya, harga saham emiten PT. ABC saat ini Rp. 50.000/lembar. Setelah stock split 1:5, maka nilai saham per lembar menjadi Rp. 10.000/lembar. Jumlah saham yang dimiliki tiap investor pun otomatis. membengkak menjadi lima kali lipat. Jika sebelumnya dia miliki 1.000 lembar, kini bertambah menjadi 5 lembar. Begitulah seterusnya.
Nah, salah satu terminologi yang cukup dikenal di pasar modal adalah buyback. Secara harfiah, buyback bermakna membeli kembali. Di pasar, buyback bermakna emiten membeli sebagian sahamnya kembali. Dampak langsung dari aktivitas ini adalah berkurangnya jumlah saham yang beredar di tangan investor publik.
Mendongkrak Laba
Apa pun corporate action emiten, selalu saja menyimpan maksud. Nah, tujuan ini sedikitnya bisa dipilah menjadi dua kelompok besar. Tujuan yang terbuka atau sengaja dibuka, dan tujuan tersembunyi. Yang tersurat dan tersirat.
Tentu saja, kita tidak bisa serta merta menuding tiap emiten pasti mengantongi tujuan tersembunyi dari aksi perusa¬haannya. Kalau pun ada, sudah bisa dipastikan emiten tidak akan membukanya kepada publik. Dalam penjelasan resminya, biasanya mereka hanya mepaparkan hal-hal normatif.
Pada titik ini, kejelian investor untuk mengendus tujuan tersembunyi menjadi amat penting. Berbekal pengetahuan inilah, investor bisa memutuskan untuk melakukan tindakan guna memaksimalkan keuntung¬an, atau setidaknya mengurangi kerugian.
Salah satu penjelasan yang paling umum disampaikan emiten kepada otoritas dan publik berkaitan dengan buyback adalah untuk meningkatkan laba per saham. Dengan demikian, buyback dimaksudkan sebagai alternatif lain dari pembagian deviden kas. Dari sini perusahaan berusaha memberi value kepada investornya. Nilai laba per saham perusahaan alias earning per share (EPS) memang jadi salah satu faktor penting untuk mengukur kinerja emiten. Makin tinggi EPS-nya, makin moncer saham emiten yang bersangkutan.
Tapi, bagi investor yang jeli, iming-iming peningkatan laba per saham ini tidak serta merta bisa diterima begitu saja. Mereka paham benar, bahwa alasan buyback untuk meningkatkan EPS perusahaan sebenarnya sedikit mengecoh. Pasalnya, buyback tidak membawa perubahan fundamental terhadap operasi emiten yang dapat berimplikasi terdongkraknya laba bersih. Artinya, melejitnya EPS sejatinya terjadi karena menyusutnya jumlah saham yang beredar. Bukan karena peningkatan laba bersih.
Seperti telah disinggung pada awal tulisan ini, dampak langsung buyback adalah berkurangnya jumlah saham yang beredar. Di Indonesia, fakta ini memaksa pasar harus puas dengan kian sedikitnya saham yang ditransaksikan di bursa. Padahal, pada umumnya emiten kita hanya melego sebagian kecil dari jumlah sahamnya kepada publik. Umumnya jumlah saham yang dilepas ke pasar hanya berkisar 20-25% dari total saham yang ada.
Untuk emiten yang tidak masuk dalam kategori blue chip, menyusutnya jumlah saham beredar bisa berdampak banyak hal. Salah satu yang mungkin terjadi adalah, terjadinya transaksi tidak wajar untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara yang tidak wajar pula. Pasar mengenal aktivitas ini dengan sebutan "menggoreng saham". Selain karena jumlah saham yang beredar sedikit, hal ini dimungkinkan terjadi karena sistem hukum pasar modal kita masih di bawah banderol. Ujung-ujungnya. investor publiklah yang dirugikan dari perilaku tak elok itu.
OGAH DICAPLOK
Di pasar modal yang sudah maju seperti New York Stock Exhange.(NYSE), buyback sering dimaksudkan untuk keperluan lain. Seperti diketahuhi, porsi saham publik atau free-float di sana relatif besar. Nah, buyback juga sering dilakukan sebagai strategi pertahanan untuk menggagalkan upaya takeover atau pengambilalihan dari perusahaan lain yang tidak disukai emiten.
Asal tahu saja, praktek takeover satu perusahaan oleh perusahaan lain di sana sangat lazim. Pelakunya biasanya adalah perusahaan yang memiliki dana sangat besar. Muara dari takeover, gampang ditebak, adalah meningkatkan perolehan keuntungan sebesar-besarnya.
Nah, emiten yang punya saldo kas besar di neracanya sering menjadi target yang menarik untuk akuisisi. lni wajar saja, bukan? Siapa sih yang tidak tergiur melihat ada duit nganggur di kas dalam jumlah besar?
Guna mencegah terjadinya pencaplokan, terlebih lagi oleh pihak yang tidak disukai, manajemen emiten yang menjadi sasaran menggunakan kasnya untuk membeli saham mereka sendiri. Setelah buyback otomatis jumlah kas mereka langsung menyusut. Dengan begitu, diharapkan perusahaan itu tidak lagi seksi, sehingga mengurangi gairah sang calon pencaplok.
Terlepas dari niat sesungguhnya dari emiten, buyback dipastikan mendulang beragam reaksi dari pemegang saham. Kerap ketika buyback diumumkan harga saham akan naik. Ini wajar saja, karena buyback merefleksikan meningkatnya permintaan akan saham tersebut di pasar. Selain itu, naiknya harga juga karena terjadi peningkatan dalam pertumbuhan laba. Biar bagaimana pun pasar menghargai saham lebih tinggi karena kenaikan EPS setelah buyback.
Di Indonesia, kadang buyback justru dapat dipandang negatif. Pasalnya, dengan menarik sebagian saham yang beredar dari publik, manajemen dapat memiliki kontrol lebih besar terhadap pergerakan harga sahamnya di bursa. Nah, pada titik ini kekhawatiran terjadinya goreng¬menggoreng saham tadi, bisa saja menjadi kenyataan.
-----
No comments:
Post a Comment