Ini adalah lanjutan dari cerpen yang saya buat di postingan sebelumnya, bagi yang belum baca. Silahkan membacanya disini. Bagi yang udah baca part 1 nya, berikut ini adalah Cerpen Wanita Dibalik Cadar #2.
Selamat membaca..^^
Dan kini, tepat 5 tahun sudah semenjak aku memutuskan untuk mengikuti keinginan abiku. Awalnya aku sempat risi, malu, sungkan, dan bahkan merasa canggung pada diriku sendiri. Namun, anehnya aku sama sekali tak menyesal dengan keputusanku ini. Karena jawaban atas salat istikharah waktu itu benar. Umi dan abi, mereka terlihat lebih bahagia semenjak aku bercadar. Bukankah itu yang kuinginkan? Dan aku? Aku bukanlah Nisa yang dulu, yang sangat periang dan aktif dalam organisasi. Kini aku lebih pasif, aku lebih memusatkan perhatianku pada masalah agama dan belajar.
Sahabat – sahabatku kebanyakan dari mereka adalah bercadar, kami bersahabat mungkin karena jalan yang mereka pilih sama denganku meskipun dengan alasan yang berbeda. Kecuali satu orang, yaitu Rere. Ia adalah satu – satunya sahabatku yang satu universitas denganku. Ia bukanlah seorang yang menggunakan jilbab, dan bahkan bukan seorang muslimah, tapi dari dalam hatinya aku merasakan kebaikan yang sangat tulus.
Awal pertemuanku dengannya memang terbilang cukup singkat namun sangat bermakna. Kala itu adalah hari pertamaku kuliah. Kebanyakan mata melihatku dengan tatapan heran, aneh, dan tatapan penuh arti. Aku tak mengenal siapa pun disini, aku hanya seorang diri. Dan disaatku memasuki kelas, mahasiswa di sana pun menggunjingku, dan mengolok – olokku.
Seperti sebutan teroris yang dilontarkan sekumpulan pria di kelasku. Meskipun aku marah, tapi dari balik cadarku aku menangis. Ya, cadar inilah yang mereka jadikan alasan untuk mengolok – olokku. Lalu disaat itulah ia datang dan membelaku. “Hai kalian, beraninya sama cewek. Dasar banci!” katanya dengan nada yang keras. Saking keras nya, sampai – sampai kelas yang tadinya ribut tiba – tiba jadi sunyi. Pria itu pun akhirnya pergi meninggalkan kami berdua.
“Makasih ya.” Kataku. Ia tersenyum dan menjawab “iya, sama – sama. Oh iya, kenalin namaku Resya Rahayu, tapi panggil aja aku Rere.” Ia mengulurkan tangannya, aku pun membalas uluran tangan nya. “Aku Nisa Azzahra, panggil aja aku Nisa” Dari peristiwa itulah kami saling mengenal.
Dari balik kerah bajunya, aku bisa melihat ia mengenakan kalung berlambangkan cross. Dari sanalah aku tahu bahwa ternyata ia adalah seorang dari golongan nasrani. Awalnya aku sedikit canggung setelah mengetahui bahwa kepercayaan kami berbeda. Namun, dari sikapnya itu ia yang telah meyakinkanku bahwa meskipun kami berbeda namun justru perbedaan itulah yang mempersatukan kami, ibarat kopi dengan susu yang disatukan. Rasanya akan lebih special, berwarna, dan indah. Dan itulah awal dari persahabatan kami.
Aku pernah bertanya padanya,
“Kenapa kamu ga menjauhiku seperti yang lain? Dan malah ingin bersahabat denganku padahal kamu tahu bahwa kita berbeda?” Tanyaku.
Ia tersenyum dan berkata, “Karena perbedaan bukanlah alasan untuk tidak bersahabat dengan orang sebaik kamu. Lalu apa alasanmu?” ia balik bertanya padaku dan aku pun tersenyum. Alasanku sama denganmu.
@.@
Mentari tampaknya sedang bersemangat, sinarnya tampak lebih panas dari biasanya. Sepanas berita yang kulihat hari ini. Terdapat sebuah bom yang meledak di sebuah gereja di Jakarta kemarin tepat dihari paskah. Ketika umat kristiani berbondong – bondong ke gereja untuk merayakan paskah. Bom pun meledak, tepat pada jam 11.00. Lima nyawa melayang dan puluhan korban terluka. Pelakunya dicurigai adalah kawanan teroris yang masih sama dengan pelaku pengeboman di Bali. Yang mengimplementasikan ajaran islam dengan salah. Yang membawa nama islam jelek dimata dunia. Hatiku pun ikut menangis. Mereka menjadikan islam sebagai alasannya. Padahal itu hanya alasan mereka saja yang tak paham arti islam yang sesungguhnya.
Dan Rere? Bukankah orang yang ada di layar TV itu adalah Rere? Wajahku pun langsung pucat pasi. Benarkah wanita yang terbaring lemah tak berdaya di mobil ambulance itu adalah Rere? Aku langsung memastikan berita itu, dengan cepat ku ambil hp ku. Aku harus segera meneleponnya, dan memastiakannya. Ya Allah, aku sungguh berharap itu bukanlah Rere. Detak jantungku berdetak semakin cepat, rasa khawatir ini mengubahku menjadi panik. Ke hubungi hp nya, tapi tidak diangkat. Aku ulangi lagi, sampai berkali – kali, hingga suara itupun muncul.
“Hallo.” Kata seseorang dalam telepon.
“Iya, hallo. Maaf, Rerenya ada?”
“Rere.. Rere masih belum siuman.” jawabnya dengan nada tersedu-sedu.
“Apa yang terjadi dengan Rere tante?” Ingatanku melayang ke tayangan yang baru saja kulihat tadi. Apakah ini tentang peristiwa itu. Apakah benar yang kulihat di berita itu adalah Rere.
“Rere… Rere.. menjadi korban pengeboman. Sekarang Rere sedang dirawat di Rumah Sakit Bunga, kamar Melati 2.” kata wanita itu dengan terisak – isak. Rere.., sahabatku.. Air mataku langsung menetes, hatiku sedih. Aku bisa merasakan kepedihan hati wanita dibalik telepon itu.
“Te, terima kasih ya tante.”
Telepon pun langsung ditutup.
Lalu aku pun bergegas menuju ke Rumah Sakit tempat dimana Rere tak sadarkan diri. Aku melangkahkan kakiku, menuju Kamar Melati 2. Setelah menyusuri lorang, akhirnya aku pun berhasil menemukan kamar itu. Aku melihat banyak sekali orang – orang yang datang menjenguk dan disana juga ada beberapa polisi. Jujur, aku sedikit takut dan cemas. Tapi aku kesini untuk Rere, jadi kuluruskan tekadku dengan lafadz basmalah. Sesampainya didepan kamar itu, semua orang melihatku. Mungkin ini karena pakaianku dan juga cadarku.
Seorang pria menghampiriku, “Maaf mba, ada perlu apa yah?” Tanya nya sopan.
“Maaf jika kehadiran saya mengganggu. Tapi saya kesini hanya ingin menjenguk Rere, sahabat saya.”
Dari balik cadarku, aku bisa melihat wajah orang itu. Ia tampak heran mendengar perkataanku barusan.
Lalu seorang wanita muncul, dengan matanya yang sembab akibat tangisnya. Tiba – tiba ia “Plak!!!!” wanita itu menamparku seraya berkata “Hai kamu, mau apa kamu kesini? Untuk tertawakah? Kamu puas sekarang karena telah membunuh suamiku dan anakku? Dan dimana teman – temanmu itu? Dasar teroris brengsek!! Pembunuh!” ia memaki – makiku dengan keras, menunjuk – nunjukku dengan tangannya.
Beberapa orang berusaha menenangkan wanita itu, termasuk beberapa polisi. Mereka membawanya menjauh. Dari kata – katanya barusan aku tahu bahwa wanita yang barusan berada tepat dihadapanku adalah ibunda Rere. Dan suaminya meninggal? Ayahnya Rere Meninggal? Benarkah itu? Innalillahi wa’inaillaihi roji’un, dan kini ia menyalahkanku atas peristiwa ini. Astagfirullah hal’azim, dari balik cadarku, aku hanya bisa menangis. Aku seolah – olah tak peduli akan rasa sakit akibat tamparan wanita itu. Karena sesungguhnya hatiku jauh lebih sakit. Aku dianggap sebagai teroris olehnya, hati wanita mana yang tak sedih jika diperlakukan seperti ini. Aku pun hanya bisa terdiam dengan wajah pucat pasi.
Lalu, seseorang yang sepertinya adalah saudaranya Rere bertanya namaku.
“Siapa namamu?”
“Nisa” jawabku singkat.
“Nis, lebih baik kamu pulang saja, nanti akanku sampaikan salammu pada Rere.” Nasihat orang itu.
Meskipun sebenarnya aku ingin melihat kondisi Rere terlebih dahulu tapi aku tahu sebaiknya aku pulang sekarang dari pada keadaannya menjadi lebih kacau lagi.
@@
Setelah pulang ke rumah, dalam sujudku aku berdoa.
“Ya Allah, hanya kepada-Mu lah aku meminta dan memohon ampunan.Hamba tahu, tiada yang mustahil untuk – Mu ketika Kun Fayakun Diucapkan – MuKarena itu, hamba memohon pertolongan-Mu untuk memberikan hidayah pada Rere, sahabatkuBerikanlah secercah cahaya – Mu untuknya agar ia menemukan jalan kebenaranYa Allah, angkatlah penyakitnya dan sembuhkanlah ia”
@.@
Sebulan setelah peristiwa itu. Ia menghilang. Ia tak pernah datang kuliah, hp nya pun masih saja tak bisa dihubungi. Waktu itu, aku sempat ke rumah Rere untuk menjenguknya. Namun rupanya rumahnya telah kosong. Disana aku bertemu Ibu Efa, tetangganya Rere yang kebetulan juga seorang muslimah. Aku bertanya padanya, dan ia bercerita bahwa semenjak kejadian itu, Rere terus saja menyalahkan dirinya, baginya seharusnya ia yang telah mati bukan ayahnya. Akhirnya keluarga Rere pun memutuskan untuk pindah ke luar kota untuk menghilangkan traumanya. Mendengar cerita itu, aku pun menangis. Rere.. Maafkan aku, dikala aku membutuhkanmu, kamu selalu ada untukku, namun disaat kamu yang membutuhkanku, aku masih disini tanpa bisa berbuat apa – apa.
Dan kabar di TV kini menyebutkan bahwa pelaku dari pengeboman gereja akhirnya telah ditangkap. Ya, aku senang dan sekaligus sedih. Karena kenapa? Aku senang karena akhirnya kebenaran pun terungkap dan aku sedih karena pelakunya merupakan orang islam. Astagfirullah hal’azim. Lagi – lagi. Padahal Islam bukanlah agama teroris. Memang benar setiap orang mempunyai jalan pikiran yang berbeda – beda, persepsi yang berbeda dan pandangan yang berbeda – beda. Namun tidak untuk masalah agama. Islam hanya berada di jalan yang lurus, yang jalannya dapat kita susuri baik – baik dalam petunjuk yang jelas, yaitu: Al – Qur’an dan As – Sunnah.
@.@
2 tahun berlalu, kini aku telah menyandang gelar sarjana. Mengenakan toga dengan penuh kebanggaan. Umi dan abiku pun tersenyum bangga ketika menyaksikan namaku disebut untuk maju ke depan altar sebagai salah satu mahasiswa berprestasi. Dan rasa bangga mereka pun menjadi lebih ketika mereka menyadari bahwa diantara mahasiswi – mahasiwi yang berprestasi itu, hanya akulah satu – satunya wanita yang bercadar. Alhamdulillah ya Allah, akhirnya impianku menjadi nyata.
“Nisa..!!” seseorang memanggilku dari arah belakang. Aku pun menoleh ke arah asal suara tersebut. Terlihat seorang wanita mengenakan jilbab panjang berlari ke arahku. Lalu ia memelukku. “Selamat yah say.” Katanya. Suaranya sangat familiar di telingaku. Ia adalah Rere, sahabatku. “Rere? Benarkah ini kamu?” tanyaku heran. “iya Nis, ini aku.” Jawabnya. Ia menangis, begitu juga denganku. Kami pun melepas rindu dengan saling berpelukan. Subhanallah, doaku akhirnya terwujud. Alhamdulillah puji syukur ku atas hidayah yang telah Engkau berikan kepada Rere.
“Re, kemana saja kamu? Apa kabar? Dan tampilanmu? Bagaimana ceritanya? Tahukah kamu betapa ku sangat mengkhawatirkanmu.” Tanyaku padanya. “Alhamdulillah, kini aku seorang muslimah. Dan ini untukmu!” ia menyerahkan sebuah undangan berwarna putih bertintakan emas. Disana tertulis indah namanya, Resya Rahayu (Rere) dan Ridho Antaridya “Masya Allah, Apakah ini undangan Walimahanmu Nis? Tapi, Bagaimana ceritanya Nis?” tanyaku tak sabar.
“Ini semua berkat Allah SWT, Ia mengirimkan Ridho, calon suamiku. Ridho adalah lentera hidupku, yang menuntunku menuju jalan yang lurus. Ia yang menyadarkanku bahwa apa yang kusembah selama ini salah. Patung itu, ia tetap diam saja ketika peristiwa itu terjadi. Padahal ia ada disana. Ia yang menjadi saksi bisu bagaimana ayahku mati. Tapi Alhamdulillah, karena Allah lah aku hidup. Dan karena Allah pula lah aku dipertemukan oleh jodohku. Meskipun perjalanan cinta ini mengalami banyak sekali rintangan, namun berujung manis, Insya Allah kami akan mengadakan Walimahan lusa.”
Air mataku tak henti – hentinya berjatuhan mendengar cerita Rere. Aku sungguh terharu. “Baiklah Insya Allah aku akan datang”. Kataku dengan rona bahagia. “Oke, sahabatku. Aku tunggu kedatanganmu”. Katanya, “selamat yah calon pengantin, aku doakan semoga lusa adalah pernikahan terakhir bagi kalian berdua. Dan kalian bisa menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah. Dan bisa lekas diberikan buah hati yang soleh dan solehah.” Kataku yang diakhiri dengan ucapan “amin” olehku dan Rere.
“Aku juga berdoa semoga tak lama lagi kamu akan menyusulku, dan aku berdoa semoga kamu mendapatkan jodoh yang terbaik diantara yang terbaik.” doanya yang kubalas dengan kata “Amin.”
“Aku pergi dulu yah Nis. Assalamu’alaikum” pamit Rere.
“Wa’alaikum Salam.” Jawabku. Dan Rere pun pergi dengan rona bahagia.
Subhanallah, kini aku sadar bahwa perbedaan itu selalu ada. Tergantung bagaimanakah kita memaknai perbedaan itu sendiri. Dan hidup itu merupakan bagian dari misteri. Kita ga akan pernah tahu ending ceritanya seperti apa, tapi dengan berbuat yang terbaik, Insya Allah endingnya pun akan berakhir dengan bahagia.
TAMAT
kaka bagus banget loh ceritanya ...
ReplyDeletebener2 nyentuh, dan kebetualan aku juga insya Allah ingin menggunakan cadar tapi aku masih takut karena lingkunganku yang masih minim pemikirannya dengan islam dan terrorist.
aku mohon do'anya yah kak... semoga aku bisa istiqomah menutup auratku ^^
amin.. syukron yah ukhti.. smoga karya ini bermanfaat.. :)
ReplyDelete