Seperti yang telah kita ketahui, sejak didirikan pada tanggal 17 Agustus 1945 M/10 Ramadhan 1367 H, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Undang-Undang Dasarnya menyatakan diri sebagai negara hukum. Sebelum Undang-Undang Dasar 1945 dimandemen, pencantuman Indonesia sebagai negara hukum dijumpai dalam bagian penjelasan yang menyatakan: “Indonesia, ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat).” “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diamandemen, pernyataan Indonesia sebagai negara hukum termaktub dalam BAB I Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan: “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Permasalahannya sekarang, adakah yang dimaksud dengan kata “hukum” dalam kalimat “Negara Indonesia adalah negara hukum,” itu termasuk di dalamnya hukum tidak terulis ? Ilmu hukum memang mengajarkan kepada kita tentang keberadaan hukum tidak tertulis di samping hukum tertulis. Tetapi dalam kenyataannya, hukum modern dewasa ini tampak lebih mengacu atau bahkan lebih berpihak kepada hukum terutulis (codified law) dibandingkan dengan sekedar pengakuan apalagi keberpihakannya kepada praktek hukum tidak tertulis (uncodified law).
Mengingat keberadaan hukum tertulis jauh lebih dominan dibandingkan dengan keberadaan hukum tidak tertulis, maka pendapat yang memandang cukup pengamalan hukum Islam dengan pendekatan kultural (tanpa harus dengan legal-formal), agaknya sudah kurang relevan untuk dipertahankan. Sekurang-kurangnya dalam bidang-bidang hukum tertentu semisal hukum ekonomi islam yang tengah dibincangkan.
Pengamalan atau penerapan hukum Islam secara legal formal melalui legislasi nasional dewasa ini tampak telah menjadi kebutuhan mendesak yang harus segera ditangani. Selain momentumnya yang benar-benar tepat karena kehadiran sistem ekonomi Islam/Syariah dipandang sebagai salah satu solusi terbaik dalam menata kembali ekonomi Indonesia yang carut-marut; juga mengingat arah perkembangan hukum nasional Indonesia ke depan tampak lebih mengacu kepada hukum tertulis atau lebih tepatnya lagi merujuk kepada peraturan perundang-undangan.
Senafas dengan beberapa pemikiran di atas, dapatlah dikemukakan bahwa kedudukan dan peran hukum ekonomi islam di Indonesia semakin terasa penting manakala dihubungkan dengan pembangunan ekonomi nasional Indonesia yang disebut-sebut berorientasi atau berbasis kerakyatan. Urgensi dari kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam dapat dilihat dari berbagai sudut pandang misalnya sudut pandang sejarah, komunitas bangsa Indonesia, kebutuhan masyarakat, dan bahkan dari sisi falsafah dan konstitusi negara sekalipun.
Dari sudut pandang kesejarahan, jauh sebelum NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dibentuk, bahkan jauh sebelum para penjajah mengangkangi wilayah nusantara – apapun sebutan atau namanya ketika itu –, negeri ini telah dihuni oleh penduduk yang jelas-jelas beragama, khususnya Islam yang kemudian keluar sebagai mayoritas tunggal sampai kini. Sekurang-kurangnya di daerah-daerah tertentu, hukum ekonomi Islam dalam konteksnya yang sangat luas pernah berlaku dan paling tidak sebagian daripadanya masih tetap diberlakukan sampai sekarang ini.
Sistem bagi hasil dalam bentuk paroan/memaro dan lain-lain dalam bidang pertanian, peternakan dan sebagainya yang dikenal luas di sejumlah daerah terutama di pulau Jawa, merupakan salah satu bukti konkret bagi keberlakuakn atau diberlakukannya hukum ekonomi Islam di nusantara tempo dulu. Demikian pula dengan simbol-simbol transaksi perdagangan di sejumlah pasar tradisional yang terkesan kental dengan mazhab-mazhab fikih yang dikenal masyarakat.
Dari sisi komunitas yang mendiami NKRI, bagian terbesarnya adalah pemeluk agama Islam. Atas dasar ini maka sungguh merupakan kewajaran bila hukum sebuah negara dipengaruhi oleh hukum agama yang dianut oleh bagian terbesar penduduknya. Pemberlakuan hukum ekonomi Islam di Indonesia sama sekali tidak terkait dengan apa yang lazim dikenal dengan sebutan “diktator mayoritas” dan atau “tirani minoritas.” Alasannya, karena penerapan hukum ekonomi Islam tidak dilakukan secara paksa apalagi dipaksakan. Sistem ekonomi Islam termasuk sistem hukumnya berjalan sebanding dan sederajat dengan sistem ekonomi dan sistem hukum ekonomi Konvensional.
Dari sudut pandang kebutuhan masyarakat, kehadiran sistem ekonomi Islam di Indonesia juga disebabkan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Terbukti dengan keterlibatan aktif lembaga-lembaga keuangan dan lembaga-lembaga ekonomi lain yang juga menerima kehadiran sistem ekonomi Syariah. Atau, paling sedikit berkenaan dengan hal-hal ekonomi dan keuangan tertentu, ada kemungkinan bersinergi antara lembaga ekonomi/keuangan Konvensional dengan lembaga ekonomi/keuangan Islam. Demikian juga dengan para pengguna jasa lembaga ekonmi dan atau keuangan Islam. Teramat banyak untuk disebutkan satu persatu nama-nama lembaga keuangan khususnya bank di samping lembaga-lembaga keuangan non bank lainnya yang secara aktif dan terencana justru membuka atau mendirikan lembaga-lembaga keuangan Syariah.
Di negara hukum Indonesia, kedudukan/posisi hukum ekonomi Islam sesungguhnya sangatlah kuat sebagaimana kedudukan/posisi hukum Islam secara umum dan keseluruhan. Demikian pula dengan signifikansi fungsi/peran hukum ekonomi Islam yang bisa digunakan, terutama dalam upaya menopang, melengkapi dan mengisi kekosongan hukum ekonomi sebagaimana urgensi peran dan fungsi hukum Islam secara umum dan keseluruhan dalam meopang, melengkapi dan atau mengisi kekosongan hukum nasional.
Kehadiran hukum ekonomi Islam dalam tata hukum Indonesia, dewasa ini sesngguhnya tidak lagi hanya sekedar karena tuntutan sejarah dan kependudukan (karena mayoritas beragama Islam) seperti anggapan sebagian orang/pihak; akan tetapi, lebih jauh dari itu, juga disebabkan kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui dan dirasakan benar betapa adil dan meratanya sistem ekonomi Syariah dalam mengawal kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan oleh bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kedudukan hukum ekonomi Islam/Syariah akan semakin kuat manakala dihubungkan dengan falsafah dan konstitusi negara yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Singkatnya, sistem ekonomi Syariah sama sekali tidak bertentangan apalagi melanggar Pancasila terutama “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa,” juga sama sekali tidak bertentangan apalagi melawan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia baik bagian Pembukaan (preambule) yang di dalamnya antara lain termaktub kalimat: “… Dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” maupun dengan bagian isinya terutama yang tertera dalam BAB XI (Agama) Pasal 29 ayat (1) dan (2), serta BAB XIV Pasal 33 dan 34 yang mengatur perihal perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial Indonesia.
----
sumber:
http://zonaekis.com/kedudukan-hukum-ekonomi-islam-di-indonesia/
Nama : Wardah Fauziyah
NPM : 28210458
Kelas : 2EB22
..... (=.+) .....
NPM : 28210458
Kelas : 2EB22
No comments:
Post a Comment